image

Semua hal selalu berubah, dan perubahan itu seringkali menyebalkan. Tapi coba bayangkan bila kita tak mengenal perubahan. Kita tak akan mengenal cerita. Dan cerita para sahabatku ini terus berlanjut hingga hari ini, dan semua memberi kami sebuah pelajaran berarti.
Sahabatku yang pertama, ia tengah berusaha melupakan rasa pada pria yang dulu disukainya. Karena dia tahu tak akan berhasil, ya, rasa itu tak akan berhasil, tak ada kelanjutan dari keduanya. Dan sahabatku tahu bahwa mereka bukannya malah semakin dekat tapi semakin jauh. Dan kini ia hampir berhasil, bersamaan dengan itu pula ia berkenalan dengan banyak pria lain berharap ada satu yang cocok untuknya.
Sahabatku yang kedua, kekaguman itu masih berlanjut. Dan masih sering ia utarakan kekagumannya akan pria itu padaku. Tapi kehidupan yang ia jalani sekarang memaksanya berjumpa dengan lebih banyak pria, bekerja sama dengan mereka, pun termasuk pria yang ia kagumi. Tapi akibat itu ia menemui lebih banyak pria baru yang lalu ia kagumi. Ketika kutanya kenapa kamu tak setia mengagumi satu pria saja? Jawabnya ringan, “Adalah agar aku bisa mencintai ala kadarnya, tak berlebihan, dan selagi aku bisa membagi perasaanku, sebelum ketika saatnya nanti aku tak lagi diijinkan mencintai yang lain”.
Sahabatku yang ketiga. Semua kedekatan itu sudah berakhir sekarang. Tak ada percakapan lagi di akun media sosialnya. Sang pria itu memang sudah menemui wanita lain. Wanita yang sahabatku tahu namanya, yang ia tahu orangnya, dan ia tahu bahwa si pria itu telah menjalin hubungan dengan wanita itu. Bahkan sahabatku menemui mereka berjalan bersama dalam suatu acara. Ia mengakhiri rasanya dengan terpaksa. Rasa yang ia buat sendiri, ia duga-duga sendiri dan ia kembangkan sendiri. Dan kini rasa suci itu masih dijaganya untuk pria lain yang mungkin memang jauh lebih tepat untuknya.
Sahabatku yang keempat, ia sudah mengetahui kejelasan dari semua pertanyaan ini. Pertanyaan yang selalu dipertanyakannya tapi lama tak terjawab. Dan akhirnya semuanya jelas sudah. “Lelaki itu brengsek”, katanya. Pria itu yang sengaja berkhianat, ia yang melangkah lebih dulu pada kebohongan, dan bodohnya sahabatku mementingkan perasaan daripada logikanya. Dan kini ia sadar bahwa perasaan terlalu lemah untuk dipercayai walaupun memang wanita selalu bertumpu pada perasaan, pada hatinya.

Lalu bagaimana denganku? Apakah ceritaku juga berubah seiring cerita para sahabatku yang berubah. Dan ternyata iya. Rasa itu kini tak lagi sama, kadang berkurang entah karena siapa yang berubah, siapa yang menjadi lebih baik. Entahlah, tapi rasa itu tak sehebat dulu. Mungkin aku sudah lebih tegas menjaga hati, memperingatkan diri akan ketidakpantasan. Lalu menyibukkan diri dengan hal lain yang jauh lebih rumit. Ah, sebuah kalimat yang dikirim seorang sahabat mungkin benar. “Cinta kepada Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang kau cintai berbuat baik kepadamu dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar padamu.” Dan semoga memang cintaku pada Allah jauh lebih besar. Mungkin memang selalu begitulah hati kami, wanita yang hatinya terombang-ambing seperti kapal dilautan luas, -seperti sekoci- kata seorang sahabatku. Tapi setidaknya dari semua cerita ini kita selalu belajar, lalu bersyukur atas ujian yang berakhir. Dan dari cerita ini mungkin akan lahir berjuta cerita baru, dari para sahabatku yang nanti hatinya akan berlabuh pada satu orang, seseorang yang menemani dua pertiga hidupnya.

Surabaya, 15 Oktober 2015