Search

Bibliophile

Seorang anak kecil pun bahagia ketika bisa membaca dan menulis

Tag

Kehidupan

Tidak untuk Kali Kedua

Saat melihat orang lain yang tidak kamu kenal, apa yang kamu fikirkan tentangnya?

Jika kamu sudah mengenalnya, kamu bisa memiliki persepsi tentangnya kan?
Tapi yang kamu fikirkan bisa benar, bisa salah. Pun setiap orang yang mengenalnya bisa saja memiliki persepsi berbeda.
Bahkan kamu pun bisa memiliki persepsi berbeda dari satu waktu ke waktu lain.

Pernah tidak saat masih sekolah kamu takut sekali dengan salah seorang gurumu.
Kata-katanya yang tegas, caranya menegurmu, atau dari pandangan matanya yang langsung bertemu dengan matamu terasa sangat tidak nyaman.
Tapi coba kamu temui dia ketika sudah dewasa, mungkin kamu bisa menemukan sikapnya yang ramah dan bijak, juga nasihat tegasnya yang jadi terasa hangat

Kita tak tahu siapa yang berubah, kamu atau dia. Kita tak tahu siapa yang salah, siapa yang benar. Terlalu cepat kita ambil kesimpulan jika hanya melihat pendapat sendiri bukan?

Lalu saat melihat orang lain yang tidak kamu kenal, melakukan suatu kesalahan apa yang kamu pikirkan tentangnya?

Apakah kamu ikut menghujat atau kamu mencari alasan kenapa ia bisa melakukan kesalahan?
Kita tidak pernah bisa benar-benar tahu dan mengerti orang lain
Setiap kita pernah berbuat salah.
Bahkan kita tidak pernah benar-benar tahu kapan kita “hit the rock bottom” sendiri kan?
Mungkin dia sedang di kondisi itu.
Tidak masalah untuk berbuat kesalahan untuk pertama kali, tapi tidak untuk kali kedua.
Semoga kita selalu terjaga.

Nganjuk, 27 Juli 2021

Tumbuh

Mungkinkah wajar jika berbeda rasanya?

Berada pada lingkaran dimana kamu tumbuh didalamnya.

Dari kamu yang awalnya hanya satu titik kecil.

Yang perlahan tumbuh menjadi garis dari sebuah lingkaran.

Disanalah warnamu semula yang amat redup menjadi kiat pekat.
Mungkinkah wajar jika berbeda rasanya?

Jika kemudian kamu harus pergi.

Untuk bergabung dengan lingkaran warna lain.

Lingkaran dengan warna lain yang sama pekatnya.

Mungkin memang semestinya kamu menyesuaikan diri.

Seperti bunglon berubah warna menyesuaikan lingkungannya.

Perlahan memudarkan warna dan memekatkan warna barumu.
Mungkinkah wajar jika berbeda rasanya?

Jika aku bukan bunglon yang berubah secepat itu.

Waktuku mengubah warna amat lama dan selama itu selalu dipenuhi ketidaknyamanan.

Sesekali memilih untuk lebih baik selangkah mundur dari lingkaran, membuatnya tak lagi utuh.

Tapi nyatanya aku masih berusaha untuk bertahan.

Karena satu-satunya cara untuk tumbuh adalah bertahan dalam ketidaknyamanan.
Jadi wajarkah jika berbeda rasanya?
Nganjuk, 9 November 2017. 08.21

Di atas becak, sepanjang perjalanan menuju rumah.

Tidakkah Kita Malu?

 

Ada yang mengejutkan di soreku hari ini. Padahal akhir pekan ini kuawali dengan biasa saja, bangun di waktu biasa, tidak melakukan apa-apa, bertemu beberapa orang, lalu ke kampus demi mencari jaringan internet gratis seperti biasa. Panasnya Surabaya hari ini pun tak beda jauh dengan beberapa hari lalu, masih sekitar 34-37 °C saat tengah hari. Pun suasana di kampus sama saja, sama sepinya, karena teman-teman seangkatanku sebagian besar sudah melalang buana mencari masa depannya sendiri. Suasana kampus kini tak sama seperti dulu, meski ada junior yang mengurus kegiatan organisasinya, tapi tetap saja berbeda. Beberapa pekerja merapikan taman jurusan, sebagaimana yang mereka lakukan pekan kemarin, menebang pohon yang merimbun diatas atap kelas, dan satu-satunya yang membedakan hanya pohon yang ditebang. Isi notifikasi telepon pintarku bahkan tak jauh beda, lagi-lagi soal tugas, dari tugas kuliah sampai yaa sebut saja tugas negara. Meski terdengar sangat membosankan tapi aku mungkin harus bertahan disini hingga matahari sedikit bergulir ke barat, ditemani segelas yogurt rasa kopi rekomendasi salah seorang temanku.

Tak lama adzan dhuhur berkumandang. Ketika baru saja aku akan beranjak, seorang yang kukenal mendekat, menyapa. Ia juniorku, selisih tiga tahun. Kami duduk bersanding, di pelataran selasar kelas. Aku tersenyum melihatnya, sembari melanjutkan mencari beberapa hal di laptopku. Curhatnya bahkan masih tak berbeda jauh, tentang kuliah, dosen-dosen yang ia rasa tak nyaman, keresahannya memilih bidang, dan segala kekhawatirannya yang dulu juga kurasakan.

Seperginya ia aku mengemasi barangku, pergi berwudhu dan sholat. Seusai sholat aku masih bertahan di mushola, dengan alasan yang selalu kuberikan “nyari AC” karena kota ini memang tak pernah ramah dengan suhunya. Aku bertahan disana lebih dari 1,5 jam, sembari membuka laptop dan meluruskan punggung dibalik tirai pembatas agar tak terlihat dari luar. Karena cukup lama disana aku jadi merasa bosan, dan ingin kembali ke selasar.

“Ah, tapi waktu sholat ashar tak seberapa lama lagi”, gumamku. Aku memutuskan untuk bertahan. Tiga orang wanita datang ke mushola untuk sholat. Ketika mereka pergi dua orang pria datang, pun ternyata baru saja akan sholat.

“Dasar cowok kok sholat ngaret. Di mushola lagi, gak ke masjid” pikirku. Lalu aku kembali berkutat dengan laptopku. Tak lama setelah 2 pria itu pergi, datang 2 pria lain.

“Ah, makin parah nih, udah mepet banget sama waktu ashar”. Sayup kudengar mereka bercakap, suaranya terdengar tak asing, bahkan amat dikenal telinga, tapi aku hanya diam dan tak beranjak.

Ternyata kedua pria ini ke mushola ini tidak untuk sholat. Mereka datang membawa alat kebersihan seperti pel, pembersih lantai, dan entah apa lagi. Aku masih saja diam, sampai salah satu dari mereka menyingkap tirai itu, terkaget melihat ada orang tepat dibaliknya. Aku melihatnya sekilas, dan memastikan melihat wajahnya, dan memang ia temanku, teman satu angkatan. Dua pria itu bukan anak yang terkenal alim apalagi aktivis organisasi kerohanian, tapi sungguh apa yang mereka lakukan jauh lebih mulia dari kita,orang-orang yang dianggap alim, yang teman lain kadang meng”eksklusifkan” kita, tapi kita bahkan acuh tak acuh pada tempat ibadah terdekat dan paling sering digunakan. Jangankan piket membersihkan mushola, mungkin diantara kita pun pernah meninggalkan satu-dua sampah disana. Atau kadang membersihkan mushola sekali saja sudah membuat kita amat bangga karena jariyah orang-orang sholat disana akan kita dapatkan, yang padahal kebanggaan itu membuat kayu bakar kita habis menjadi abu.

Lihatlah begitu banyak orang-orang yang tak berstempel aktivis dakwah tapi dakwahnya lebih membumi. Tidakkah kita amat malu? Malu sebagai kader dakwah yang bahkan tidak ada pengaruhnya di lingkungan terkecil kita. Malu sebagai mukmin yang ternyata begitu sedikit amalnya, begitu buruk inisiatifnya, dan betapa banyak waktu luang yang habis untuk sebuah kesia-siaan semata. Lalu masih saja kita merasa layak untuk surga padahal kita hanyalah orang yang tengah mengalami kekalahan lomba, perlombaan berbuat kebaikan, berbuat kebaikan dalam diam.

Surabaya, 21 Oktober 2017

 

Di Bawah Matahari

Ini hari keduaku di kota ini, setelah kurang lebih dua minggu aku pergi ke kota lain. Suhu 31°C masih sama seperti kemarin ketik baru saja aku turun dari gerbong kereta, itupun menurut aplikasi smartphone ku. Tapi anehnya, aku merasa lebih terik siang ini. Aku dan temanku baru saja keluarga dari salah satu pusar perbelanjaan, untuk sekedar membunuh waktu sekaligus mencari hawa dingin, mengesampingkan hal lain yang mungkin jauh lebih penting dari ini. Kami keluar tepat tengah hari, matahari sedang berada dipuncaknya. Hanya keluh yang pertama keluar dari mulutku saat ada dibawahnya ” panas” kataku. Wajahku seperti terbakar. Masih kaget dengan panas yang jauh berbeda ketika kemarin aku menghabiskan waktu seminggu di Magelang. Kami lantas pulang menyusuri jalanan biasa dengan sepeda motor, angin menggembus membuat terasa sedikit lebih sejuk. Aku duduk diboncengan dan seperti biasa termangu melihat sekitar, sambil memicingkan mata melawan terik  matahari. Sembari motor melaju aku melihat disampingku, di tepi jalan besar itu, ada dua anak siswi sekolah dasar baru saja keluar sekolah. Yang satu rambutnya dikuncir belakang, yang satu dibiarkan terurai dengan jepit kecil diatasnya. Mereka sama-sama membawa tas besar, lebih besar dari punggung mereka sendiri. Dua gadis itu terpisah jarak beberapa meter, oleh sebuah gang kecil. Lantas satu dari mereka melambaikan tangan memanggil kawannya untuk segera datang, yang satu lainnya berlari menghampiri. Namun ketika ia datang, si pelambai tangan malah berlari. Mereka berkejaran berlari dengan tas yang menghantam badan mereka, tertawa, bahagia, dibawah matahari yang sama.

Ditulis di boncengan motor.
Surabaya, 10 Agustus 2017, pukul 12.00

Kenapa Langit

Kenapa kamu banyak memotret langit akhir-akhir ini?” tanyaku.

“Lagi seneng jalan trus suka liat keatas. Aku suka langit, karena dia selalu memberikan pemandangan yang berbeda tiap aku melihatnya”, jawabmu.

Setelah ia berkata seperti itu aku seketika melihat langit, memandangnya lebih lama. Ia benar, langit selalu berubah tiap aku melihatnya meski ditempat yang sama. Langit selalu memberikan kejutan kecil saat kita menemuinya, karena ia sudah berubah tak lagi sama dengan sebelumnya.

Tapi itu mungkin karena semua bergerak amat cepat tapi kita tidak menyadarinya, seperti setiap menit diatas kepala kita mungkin ada sebuah pesawat yang berlalu tanpa kita sadari. Atau lebih tinggi lagi, dilangit yang tak bisa kita jangkau, jutaan bintang tengah beredar dan beberapa diantaranya beradu membuat kehancuran.

Bisa jadi juga kita yang tak bergerak, sehingga melewatkan banyak hal. Bahkan hal yang besar dan tengah berjalan lambat di depan kita. Pernahkah suatu hari itu kamu amat lelah, bangun sesaat di pagi hari melihat sinar matahari masuk disela-sela jendela kamarmu, lalu tanpa sadar kamu tertidur dan bangun ketika tiba-tiba matahari yang kamu baru saja lihat sudah berada di sisi lain dan bersiap pergi lagi.
Langit selalu memberikan pemandangan berbeda tiap aku melihatnya. Seperti siang beberapa waktu lalu, ketika aku merasakan sungguh panasnya udara hari itu. Matahari amat terik, langit bersih dari awan. Aku pergi sejenak ke suatu ruang di kampus, mengeluarkan isi tas ranselku, lalu kembali memasukkan beberapa benda itu tak lama setelahnya. Aku keluar ruangan, menatap langit, ia sudah menunjukkan wajahnya yang lain. Langit mendung, hujan gerimis.

Surabaya, 12 Mei 2017

Syukur

“Kenapa sih kamu gak bersyukur aja?” Ucapmu malam itu, setelah tangisku yang hanya kamu yang tahu. Aku mengeluh padamu, mengungkap kepenatan yang membuncah. Ketika aku yang lemah hatinya, terlalu perasa pada kesulitan hati. Kamu yang kala itu sepertinya juga tengah penat, tapi kamu bertahan kamu bersabar pada keadaan. Karena kamu tahu bahwa tak ada yang lebih baik, yang bisa kamu lakukan daripada hal itu. Kamu menegaskan “Hold on” menyuruhku untuk bertahan, karena kamu juga, bahkan mungkin kamu lebih parah dariku.
Tak lama kamu ganti yang menggungkap penat. Katamu semua sudah dipuncak, seolah kamu tak ingin bertahan lagi, ingin berlari. Tapi kamu tetap bersabar, kamu menunjukkan bahwa kamu mampu bertahan meaki seolah keadaan tak memungkinkan. Kamu memilih menyimpan cerita, merasa sekarang bukan waktu yang benar-benar tepat utk mengungkapkannya. Karena bisa saja luka itu kembali menganga dan sakitnya bisa kembali terasa karena ia belum kering sepenuhnya.
Ya kita hanyalah manusia manusia biasa, manusia yang ingin bertahan dg keadaan,manusia yang tak ingin memperburuk keadaan dengan kalimat penuh konflik yang dramatis. Kita adalah bagian dari orang-orang yang cenderung acuh dengan keadaan sekitar, memilih untuk terlihat tidak peka daripada menjadi orang yang ikut campur tanpa diminta. Namun sesungguhnya dibalik itu semua kita adalah orang paling ringan tangan, orang yang tulus dan tak bisa menolak membantu kebaikan, orang paling mudah menerima dan ikhlas, orang hebat yang bekerja dibalik layar.

“Apa yang membuat kita bisa bertahan melalui jalan yang kita lalui sekarang? Kita tengah berbicara tentang sesuatu yang tak pernah kita duga tapi terus menerus memberi kekuatan untuk melalui semua itu. Mungkin ada doa malam orang tua yang tak pernah kita dengar, mungkin kebaikan kita ke orang lain yang entah kapan, yang meringankan langkah kita.Coba renungi bagian mana yang belum kita syukuri” -Kurniawan Gunadi-

Surabaya, 28 Mei 2017

Pernah Gak Kamu Tiba-Tiba Sedih?

Ini tentang kepenatan hati. Rasa penat yang entah kenapa alasannya,  darimana asalnya, dan siapa penyebabnya.

Embung ITB Jatinangor (by: Deliana PS)
Aku sendiri bingung. Sekitar seminggu ini rasanya suasana hatiku tengah tak baik. Tapi anehnya bahkan aku sendiri tak tau kenapa,mungkin karena terlalu banyak. Atau bisa jadi karena sebenarnya tak ada alasan bagiku untuk berkeluh kesah tapi aku ingin menyalahkan keadaan dan mencari pembenaran atas diri sendiri. Kepenatan ini berujung pada aku yang pulang kampung selama 3 hari dalam seminggu, tapi tak melakukan apa-apa. Berada di rumah memang sedikit mengobati. Tapi ya,aku harus kembali lagi ke kota ini. Tempat yg mungkin adalah asal dari semua perasaan buruk ini. Aneh memang, aku sendiri tak mengerti. 

Kebahagianku di negeri rantau ini hanya sesaat. Hanya ketika aku ada urusan diluar, bahagia sesaat, lalu kembali berpura bahagia. Sungguh munafik rasanya. Tapi aku sendiri merasa menunjukkan kesedihan dan segala perasaan buruk itu tak baik. Bahkan biasanya ketika musibah terang-terangan datang menimpa, aku menceritakannya pada temanku dengan tertawa. Tapi hanya sedikit yang mengerti mana bahagiaku sesungguhnya.

Sesekali kepenatan ini pun kubagi dengan temanku yang memahami tawaku itu. Dia juga mengalami hal yang sama akhir-akhir ini. Katanya, “Pernah gak sih kamu tiba-tiba ngerasa sedih?” Kami memang saling menyemangati tapi nyatanya juga kami kembali saling mengeluh ketika bertemu realita. Lalu berandai akan mimpi-mimpi lama itu,dan semua perandaian yang tak bisa kami wujudkan. Memang semua angan kami akan indah jika nyata adanya, salah satunya, “Andai kita ditempat yang sama,mungkin aku tak akan sebosan ini.” Mungkin kami akan berboncengan untuk sekedar berkeliling kota. Mencoba menu makan baru yang aneh dan penuh spontan. Duduk di suatu tempat hanya untuk membicarakan ketidakpentingan. Tapi semua hanya sebatas angan.

Sudahlah, mungkin semua ini hanya wujud kelemahan kami. Kelemahan seorang manusia yang terlalu ingin nyaman, seorang yang kurang bisa menekan dirinya sendiri. Seorang yg bahkan tak bisa tegas pada dirinya sendiri. Lalu mencari pelarian dengan pulang. Padahal lari pulang tak pernah bisa membuatnya melewati apa yang ada di depannya.

Setelah perbincangan yang selalu terulang dengan orang yang sama.

Tulisan yang jadi awal 30 days writing challenge,tapi berakhir di hari ke 10.

Surabaya,15 Maret 2017

Pertemuan

​Aku tersentak kaget bangun dari tidurku di tengah malam, amat berisik, menyebalkan. Ah, ternyata hujan akhirnya turun juga setelah sekian lama terik matahari di kota ini amat menyiksa. Setidaknya hujan ini berhasil menghiburku, aku bisa bangun kemudian tersenyum tipis untuk beberapa saat.

Tak seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun entah karena sekedar kepanasan atau karena angan pikiranku yang terbawa mimpi hingga membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak.
Sudah sebulan aku kembali ke Surabaya dan sampai sekarang apa yang amat ingin kulakukan adalah pulang. Menghilang dari rutinitas, dari tanggung jawab, dan dari berbagai tuntutan. 

Kembalinya aku ke kota ini setelah beberapa saat layaknya sebuah pertemuan denganmu. Kadang bisa menyenangkan, kadang teramat menyebalkan. Dan pertemuan itu layaknya pula hujan yang turun malam ini, datang tak pernah diduga setelah sekian lama tak turun, dan bersamaan dengan kedatangannya ada banyak rasa yang terlibat.
Kadang aku bingung bagaimana mengisi suasana menyenangkan dalam sebuah pertemuan pertama setelah sekian lama tak bersua. Kadang aku lebih memilih pergi, mencari jalan aman karena kurasa memang itu yang terbaik. Tapi kadang keadaan malah sebaliknya,pertemuan itu yg mengejarku, mengajakku memasukinya meski hanya sekedar duduk diam. 
Seringkali pertemuan dari sebuah hal yang telah lama tak ada,bisa sangat menyenangkan. Menceritakan kehidupan terbaru dan mengungkit kenangan masa lalu. 
Tapi sebuah pertemuan bisa menjadi amat buruk ketika kau selalu berbicara dalam hati agar pertemuan itu tak terjadi,tapi seketika itu waktu menjebakmu dalam keadaan yang tak kau harapkan itu. 
Tapi kau tentu tahu bahwa bahkan sehelai daun pun tak akan jatuh tanpa ijin Allah, apalagi sebuah pertemuan,tak mungkin hanya ada kebetulan di dalamnya. 

Meskipun begitu, apa kamu tahu apa yang paling kubenci dari sebuah pertemuan? Bahwa aku selalu melibatkan hati didalamnya.
Surabaya, 24 September 2016

Marah atau Sedih

Source: maulidayana.blogspot.com

Mana yang kamu pilih, marah atau sedih? Setiap langkah dan waktumu kia penuh masalah dan semakin rumit untuk diuraikan, bagai jaringan benangnya yang mengikat tubuhnya sendiri. Hal-hal menyebalkan yang selalu saja datang bergantian satu dengan lainnya, membuat hidup terlalu susah untuk ditertawakan. Lalu ketika semua sudah berada pada klimaksnya mungkin manusia hanya pasrah karena sudah amat buruk perasaannya. Entah bagaimana kita mengekspresikannya, entah marah, entah sedih.
Lalu mana yang kamu pilih, marah atau sedih?
Apakah marah? Emosi yg menumpuk itu yang telah mendesak di dada kau luapkan dengan teriakan,makian atau hanya dengan diam bersama hati yang memendam?

Lalu mana yang kau pilih, marah atau sedih?
Apakah sedih? Rasa tak bahagia berarti sedih bukan? Kemudian kau akan menekuk wajahmu, menurunkan bibir dan matamu ditambah kucuran air mata yang selama ini kau tahan akhirnya mengalir deras.

Itulah manusia, telah jadi hakikatnya bahwa kita memiliki berbagai rasa. Termasuk rasa tak bahagia dan bukan hanya sekali terjadi lalu kian sering semakin kita tua.

Jadi apakah yang kamu pilih? Marah atau sedih?

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
Sumber: https://almanhaj.or.id/3518-jangan-marah-kamu-akan-masuk-surga.html

 

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139).
Sumber: https://muslim.or.id/26272-janganlah-bersedih.html

6 Februari 2016

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

Coretan Ir

Tulisanku, untukku. Catatanku, koreksi. Curahanku kepada Tuhanku.

Bibliophile

Seorang anak kecil pun bahagia ketika bisa membaca dan menulis

Dewi Nur Aisyah

Sejernih cita, Sebening asa, Merajut cerita