Ada yang mengejutkan di soreku hari ini. Padahal akhir pekan ini kuawali dengan biasa saja, bangun di waktu biasa, tidak melakukan apa-apa, bertemu beberapa orang, lalu ke kampus demi mencari jaringan internet gratis seperti biasa. Panasnya Surabaya hari ini pun tak beda jauh dengan beberapa hari lalu, masih sekitar 34-37 °C saat tengah hari. Pun suasana di kampus sama saja, sama sepinya, karena teman-teman seangkatanku sebagian besar sudah melalang buana mencari masa depannya sendiri. Suasana kampus kini tak sama seperti dulu, meski ada junior yang mengurus kegiatan organisasinya, tapi tetap saja berbeda. Beberapa pekerja merapikan taman jurusan, sebagaimana yang mereka lakukan pekan kemarin, menebang pohon yang merimbun diatas atap kelas, dan satu-satunya yang membedakan hanya pohon yang ditebang. Isi notifikasi telepon pintarku bahkan tak jauh beda, lagi-lagi soal tugas, dari tugas kuliah sampai yaa sebut saja tugas negara. Meski terdengar sangat membosankan tapi aku mungkin harus bertahan disini hingga matahari sedikit bergulir ke barat, ditemani segelas yogurt rasa kopi rekomendasi salah seorang temanku.
Tak lama adzan dhuhur berkumandang. Ketika baru saja aku akan beranjak, seorang yang kukenal mendekat, menyapa. Ia juniorku, selisih tiga tahun. Kami duduk bersanding, di pelataran selasar kelas. Aku tersenyum melihatnya, sembari melanjutkan mencari beberapa hal di laptopku. Curhatnya bahkan masih tak berbeda jauh, tentang kuliah, dosen-dosen yang ia rasa tak nyaman, keresahannya memilih bidang, dan segala kekhawatirannya yang dulu juga kurasakan.
Seperginya ia aku mengemasi barangku, pergi berwudhu dan sholat. Seusai sholat aku masih bertahan di mushola, dengan alasan yang selalu kuberikan “nyari AC” karena kota ini memang tak pernah ramah dengan suhunya. Aku bertahan disana lebih dari 1,5 jam, sembari membuka laptop dan meluruskan punggung dibalik tirai pembatas agar tak terlihat dari luar. Karena cukup lama disana aku jadi merasa bosan, dan ingin kembali ke selasar.
“Ah, tapi waktu sholat ashar tak seberapa lama lagi”, gumamku. Aku memutuskan untuk bertahan. Tiga orang wanita datang ke mushola untuk sholat. Ketika mereka pergi dua orang pria datang, pun ternyata baru saja akan sholat.
“Dasar cowok kok sholat ngaret. Di mushola lagi, gak ke masjid” pikirku. Lalu aku kembali berkutat dengan laptopku. Tak lama setelah 2 pria itu pergi, datang 2 pria lain.
“Ah, makin parah nih, udah mepet banget sama waktu ashar”. Sayup kudengar mereka bercakap, suaranya terdengar tak asing, bahkan amat dikenal telinga, tapi aku hanya diam dan tak beranjak.
Ternyata kedua pria ini ke mushola ini tidak untuk sholat. Mereka datang membawa alat kebersihan seperti pel, pembersih lantai, dan entah apa lagi. Aku masih saja diam, sampai salah satu dari mereka menyingkap tirai itu, terkaget melihat ada orang tepat dibaliknya. Aku melihatnya sekilas, dan memastikan melihat wajahnya, dan memang ia temanku, teman satu angkatan. Dua pria itu bukan anak yang terkenal alim apalagi aktivis organisasi kerohanian, tapi sungguh apa yang mereka lakukan jauh lebih mulia dari kita,orang-orang yang dianggap alim, yang teman lain kadang meng”eksklusifkan” kita, tapi kita bahkan acuh tak acuh pada tempat ibadah terdekat dan paling sering digunakan. Jangankan piket membersihkan mushola, mungkin diantara kita pun pernah meninggalkan satu-dua sampah disana. Atau kadang membersihkan mushola sekali saja sudah membuat kita amat bangga karena jariyah orang-orang sholat disana akan kita dapatkan, yang padahal kebanggaan itu membuat kayu bakar kita habis menjadi abu.
Lihatlah begitu banyak orang-orang yang tak berstempel aktivis dakwah tapi dakwahnya lebih membumi. Tidakkah kita amat malu? Malu sebagai kader dakwah yang bahkan tidak ada pengaruhnya di lingkungan terkecil kita. Malu sebagai mukmin yang ternyata begitu sedikit amalnya, begitu buruk inisiatifnya, dan betapa banyak waktu luang yang habis untuk sebuah kesia-siaan semata. Lalu masih saja kita merasa layak untuk surga padahal kita hanyalah orang yang tengah mengalami kekalahan lomba, perlombaan berbuat kebaikan, berbuat kebaikan dalam diam.
Surabaya, 21 Oktober 2017